Minggu, 27 November 2016

Dingin dan Kopi di malam hari

Cerita dinginnya malam dan pahitnya kopi

Malam dingin sedikit syahdu cukup membangunkan bulu kuduk. Kopi Good Day seduhan Mochamad angga reza cukup menceritakan hidup yang sama pahit.

Kini, ku biarkan akal dan pikiran melengah-lengah tanpa batas.
Sampai pada titik terendah, dimana makna sebuah kopi dan malam adalah definisi yang pas untuk seorang "aku".

Kisah yang tak mungkin.
Seperti rahim yang tak mungkin menelan lagi anaknya.

Apa kau sanggup meninggalkanku?
Kau pernah sanggup mencintaiku.
Apa kau perlu melupakanku?
Kau pernah aku ingatkan.
Apa kau bisa hidup tanpaku?
Kau pernah bisa hidup denganku.

Tidak. Aku masih benci mengapa aku masih menjadi Maulidy.
Seseorang yang masih berharap detik-detik itu dapat kembali.
Di Pelukanmu.

Betapa pesta yang sia sia, ria yang percuma.
Yang seperti ini. Aku tak mampu.
Saat api membakar kayu, menjadikannya debu.
Saat bromo ber-gempa, yang menjadikannya lava.

Nyatanya.
Aku masih kokoh berdiri disini.
Bahkan saat datang api untuk membakar kayu. Saat bromo didatangkan gempa.
Aku masih disini. Berdiri menunggu kekosongan datang, bersama dingin, bersama pahit.

Akibat benih yang kau tabur, dulu.
Seakan memenjarakan rasaku dengan yang lain, selainmu.
Namun. Kini.
Aku harus mentegakan diri.
Membunuh setiap ingatan tiap kali kerinduan itu datang.

Sebab kehilanganmu.
Membuatku menemukan definisi.
Antara dingin malam dan pahit kopi.
Antara debu dan lava.
Jika dulu. Bahagiaku saat aku dapat duduk bersebelahan denganmu.
Kini. Berganti.
Bahagiaku adalah ketika bayanganmu berada dikelopak mata. Lalu kunikmati senyummu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar